Rabu, 04 Maret 2009

Sekolah Informal Memanusiakan “Orang Asing Liar”

Sekolah Informal Memanusiakan “Orang Asing Liar”

20 February 2009

Cukup berat. Itu faktanya kalau bekerja sebagai buruh di kapal nelayan Thailand. Saw tahu itu namun harus menjalaninya. Dia bekerja sebagaimana umumnya terjadi yaitu menjadi orang asing tanpa dokumen resmi. Pria berusia 15 tahun itu berasal dari Myanmar.

Anak muda yang tidak suka memberikan nama lengkapnya itu punya satu hal yang selalu dinantikan: Dia menanti suasana Sabtu sore di gedung olahraga Gereja St. Anna. Di kota pelabuhan Samut Sakhon yang berjarak 40 kilometer barat daya Bangkok itu, gedung itu merupakan tempat nongkrong setelah berhari-hari bekerja. Setiap Sabtu itu, ketika tidak berada di kapal di Teluk Thailand, Saw menikmati sauasana di sana bersama teman-teman, sambil belajar baca-tulis dan bermain sepak bola.

“Sekolah” informal di gedung olahraga gereja itu dipakai oleh sekitar 20 anak usia 2 hingga 15 tahun. Mereka adalah anak-anak dari orang-orang asing liar asal Myanmar. Seorang frater, pastor setempat, dan dua guru agama Buddha mengelola sekolah itu dengan dana dari paroki itu telah setahun menyempatkan setiap hari Sabtu untuk berkarya bersama anak-anak muda sebagai bagian dari karya pastoralnya.

Frater tahun ke tiga itu mengajar mereka berhitung dan Bahasa Thailand, serta memberikan pendidikan etika dan pengetahuan umum. Ia juga bermain sepak bola, voli dan bulu tangkis dengan mereka, serta melakukan kegiatankegiatan ke luar seperti piknik.

Pastor Peter Theeraphol Kobvithayakul, kepala Paroki St. Anna, mengatakan kepada UCA News, dulu dia berkarya bersama para migran muda asal Myanmar. Mereka kerap tidak punya waktu untuk kegiatan bersama karena mereka harus bekerja. “Itulah sebabnya, kata Peter, “kami beralih menangani anak-anak seperti Saw.

Saw dan keluarganya tinggal di sebuah ruangan kosong. Pemerintah tahu bahwa mereka ada, namun secara teknis mereka tidak keluar. Mereka digolongkan sebagai orang asing liar, tidak punya hak atau dokumen-dokumen kerja resmi. Saw dan imigran asal Myanmar lain hanya diberikan toleransi kalau perusahaan dan majikan butuh buruh yang murah.

Menteri tenaga kerja memperkirakan bahwa Thailand memiliki 2 juta imigran liar dari Kamboja, Laos, dan Myanmar.

Di Thailand, seperti tempat manapun, pekerja asing liar menjadi pekerja kasar. Industri perikanan, khususnya, sangat terkenal dengan kondisi penuh bahaya dan perlakuan buruk terhadap para pekerja Myanmar.

Orang asing liar ini mengerjakan hal-hal yang tidak mau atau tidak akan dikerjakan oleh orang-orang Thailand. Menurut Kementerian Tenaga Kerja Thailand, di Provinsi Samut Sakhon saja ada 300.000-400.000 orang asing liar ini. Sebagian besar dari mereka itu bekerja sebagai buruh di kapal nelayan atau penyeleksi udang.

Menghadapi hidup keras dan diskriminasi, banyak yang jatuh ke dalam kebiasaan buruk. Begitu kata dua guru sekolah informal itu. Para guru itu berusaha melawan berbagai kebiasaan negatif orang-orang ini yaitu menggunakan obat-obat terlarang atau minum-minuman keras.

Dari awal, kata para guru setempat, mereka membantu para imigran untuk belajar bersikap etis. “Kami mengajar mereka tentang disiplin diri”, kata guru Thitimaphorn Chaisamut.

Ia dan koleganya Munthanee Serthong, keduanya beragama Buddha, bekerja dengan orang muda ini selama tiga tahun. Banyak dari mereka berbicara hanya bahasa Myanmar, katanya, tapi sekarang mereka belajar bahasa Thai. “Saw adalah seorang anak laki-laki yang baik,” kata Thitimaphorn. Dia tidak minum maupun merokok.

Ketika sedang duduk dan menulis karakter bahasa Thai, dia mengatakan kepada UCA News, “ Saya memberikan semua pendapatanku kepada ibuku.”

Orangtua Saw datang ke Thailand beberapa tahun lalu untuk mencari pekerjaan. Bapaknya bekerja di sebuah kapal dan ibunya bekerja di pabrik. Saw mengatakan ia bekerja berjam-jam menangkap ikan hanya agar bisa memperoleh 4.700 baht (US$130) setiap bulan. Upah minimum per hari yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja Bangkok dan Samut Sakhon adalah 191 baht. Saw dan orangtuanya tinggal di ruangan kecil di sebuah blok apartmen yang menampung puluhan migran Myanmar.

Pastor Theeraphol mengakui sejumlah orang di parokinya tidak senang dengan pelayanan yang ia lakukan. Katanya, “tidak ingin kami membangunkan anak-anak macan.”

Rupanya masyarakat lokal takut bahwa para imigran yang terdidik akan menuntut banyak uang dan memperoleh upah di atas para pekerja asal Thailand sendiri.Imam itu menjawab, dirinya hanya ingin anak-anak itu bertumbuh menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab. Mereka harus tumbuh menjadi anggota masyarakat yang baik.. “Kami berusaha melakukan apa yang bisa kami lakukan,” ujar Theeraphol. dan Keuskupan Agung Bangkok. Frater Wattana Sornnuchart, 27, mahasiswa di Seminari Tinggi Sam Phran, 30 kilometer barat Bangkok.

sumber : http://skbbombanakab.diknas.go.id/?

Mencermati ketentuan seragam sekolah

Mencermati ketentuan seragam sekolah

Setiap negara memiliki kebijakan masing-masing dalam menentukan kewajiban mengenakan seragam bagi para siswa, khususnya pada siswa sekolah dasar dan menengah. Di Indonesia, ketentuan mengenakan seragam sekolah diterapkan secara beragam, baik berdasarkan jenjang maupun jenis pendidikan.

Berdasarkan jenjang sekolah, pada umumnya seragam yang dikenakan siswa di Sekolah Dasar (SD/MI) berwarna putih (baju/bagian atas) dan merah (celana atau bagian bawah). Sementara di Sekolah Tingkat Pertama (SMP/MTs) berwarna putih (baju/bagian atas) biru (celana atau bagian bawah), sedangkan untuk seragam Sekolah Tingkat Atas (SMA/MA) berwarna putih (baju/bagian atas) abu-abu (celana atau bagian bawah).

Ketentuan berseragam tersebut boleh dikatakan berlaku secara nasional. Kendati demikian, untuk sekolah-sekolah swasta, ada yang menerapkan secara penuh ketentuan seragam di atas, namun ada pula yang menerapkan ketentuan seragam khusus sesuai dengan kekhasan dari sekolah yang bersangkutan. Pada sekolah-sekolah muslim, ketentuan berseragam sekolah disesuaikan dengan ajaran Islam (misalnya, mengenakan jilbab bagi siswa perempuan, atau bercelana panjang pada siswa laki-laki).

Sejalan dengan penerapan konsep School Based Management, saat ini ada kecenderungan sekolah-sekolah negeri pun mulai menentukan kebijakan seragam sekolahnya masing-masing. Pada hari-hari tertentu mewajibkan siswanya untuk mengenakan seragam khas sekolahnya, meski ketentuan “seragam standar nasional” masih tetap menjadi utama dan tidak ditinggalkan.

Pada sekolah-sekolah tertentu, kewajiban mengenakan seragam telah menjadi bagian dari tata-tertib sekolah dan dilaksanakan secara ketat, mulai dari ketentuan bentuk, bahan, atribut yang dikenakannya, bahkan termasuk cara pembeliannya. Penerapan disiplin berseragam yang sangat ketat, kerapkali “memakan korban” bagi siswa yang melanggarnya, mulai dari teguran lisan yang terjebak dalam kekerasan psikologis sampai dengan tindakan kekerasan hukuman fisik (corporal punishment).

Sama seperti kejadian di beberapa negara lain, ketentuan mengenakan seragam sekolah ini keberadaannya selalu mengundang pro-kontra. Di satu pihak ada yang setuju dan di pihak lain tidak sedikit pula yang memandang tidak perlu ada seragam sekolah, tentunya dengan argumentasi masing-masing. Bahkan di mata siswa pun tidak mustahil timbul pro-kontra. Lumsden (2001) menyebutkan beberapa keuntungan penggunaan seragam sekolah, diantaranya: (1) dapat meningkatkan keamanan sekolah (enhanced school safety); (2) meningkatkan iklim sekolah (improved learning climate), (3) meningkatkan harga diri siswa (higher self-esteem for students), dan (4) mengurangi rasa stress di keluarga (less stress on the family).

Mereka yang tidak setuju adanya aturan berseragam tentunya memiliki argumentasi tersendiri, biasanya dengan dalih pendidikan sebagai proses pembebasan dan proses keberagaman (bukan penyeragaman), apalagi dengan kecenderungan menjadikan seragam sekolah sebagai ritual tahunan “selingan bisnis” oknum tertentu, yang melihatnya sebagai sebuah peluang ekonomi. Menarik, apa yang dikembangkan di SMA de Britto Yogyakarta, yang tidak mewajibkan siswanya mengenakan seragam secara ketat. Kecuali hari Senin dan hari-hari lain yang diumumkan oleh sekolah, para siswa diperbolehkan mengenakan pakaian bebas, yaitu baju atau kaos yang berkrah dan celana panjang bukan kolor. Meski tidak secara ketat menerapkan aturan berseragam, tetapi para siswanya tampaknya dapat menunjukkan prestasi yang membanggakan, baik secara akademik mau pun non akademik.

Hal lain yang mungkin perlu kita pertanyakan, kenapa pada umumnya siswa laki-laki di SMP saat ini masih diwajibkan mengenakan seragam dengan celana pendek. Secara psikologis, sebetulnya para siswa SMP tidak lagi disebut anak, mereka adalah kelompok siswa yang sedang memasuki remaja awal, dalam dirinya sedang terjadi perubahan yang signifikan, baik secara fisik mau pun psikis, termasuk di dalamnya ada keinginan mereka untuk menjadi dirinya sendiri dan memperoleh pengakuan untuk tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa.

Kenapa tidak diberikan kesempatan untuk itu? Demikian pula dalam pandangan Islam, usia siswa SMP pada dasarnya sudah termasuk masa aqil baligh dan sudah dikenakan kewajiban (atau paling tidak dibelajarkan) untuk melaksanakan ibadah Shalat. Dengan kewajiban mengenakan celana pendek tentunya akan menjadi hambatan tersendiri untuk menjalankan ibadahnya. Berseragam atau tidak berseragam memang menjadi sebuah pilihan, tetapi yang paling penting dalam proses pendidikan adalah bagaimana siswa dapat dikembangkan secara optimal segenap potensi yang dimilikinya sehingga mampu menunjukkan prestasinya, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Bagaimana pendapat Anda?

Sumber : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/01/14/mencermati-tentang-ketentuan-seragam-sekolah/