Rabu, 25 Februari 2009

SOSIALISASI PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS DI KABUPATEN/KOTA SE NUSA TENGGARA TIMUR

SOSIALISASI PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

DI KABUPATEN/KOTA SE NUSA TENGGARA TIMUR

Kegiatan Sosialisasi Program Perluasan dan Peningkatan Mutu Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus berlangsung selama 3 (tiga) hari mulai dari tanggal 12 s/d 14 April 2007 bertempat di UPTD PKB Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa tenggara Timur Jln. Perintis Kemerdekaan Kota Baru Kupang. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bapak Ir. Thobias Uly, M. Si.

Kegiatan ini berlangsung lancar dan tertib dengan jumlah peserta 105 orang dengan melibatkan unsur-unsur Kepala Sekolah/Guru SLB, Sekolah Terpadu, Penyelenggara Akselerasi, Komite Sekolah dan Staf Sub Dinas PLBK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tujuan pemberian subsidi ini adalah untuk mewujudkan perluasan dan pemerataan pendidikan melalui kesempatan memperoleh pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan melalui penyelenggaraan pembelajaran yang bermutu, mendorong sekolah untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

sumber : http://www.subdinplbk-ntt.com/2007/index.php?menu=news&id_news=51

Selasa, 19 Februari 2008 Kota Pontianak Miliki 2 Sekolah yang Ada KLK Program Khusus Anak Putus Sekolah

Pontianak,- Program kelas layanan khusus (KLK) untuk anak putus sekolah merupakan program depdiknas pusat. Program kelas layanan khusus SD ini adalah alternatif model pendidikan untuk menjaring anak usia SD yang belum bersekolah atau putus sekolah.

Di Kota Pontianak hanya 2 sekolah yang ada KLK. Yakni SDN 8 Pontianak Selatan dan SDN 9 Pontianak Utara. Ini terungkap ketika Pontianak Post, menemui kepala bidang pendidikan dasar Dinas Pendidikan Kota Pontianak, Drs. Abdul Wahab di ruang kerjanya, Senin (18/2) kemarin.

Dia mengatakan program ini didanai APBN pusat. Program ini dicanangkan, karena sebuah penelitian pada tahun 2002. Dimana dalam rangka mewujudkan wajib belajar 9 tahun, banyak siswa SD drop out. Sebab itu, tahun ajaran 2003/2004 sampai sekarang KLK sudah diterapkan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan Makasar.

Di Kalbar khususnya Kota Pontianak baru dilaksanakan tahun ajaran 2007/2008. Dia menjelaskan, tidak semua sekolah melaksanakan KLK di Kota Pontianak. Itu katanya ada kriteria khusus bagi sekolah yang akan melaksanakan program tersebut. Tahap awal, dinas pendidikan kota menjaring seluruh sekolah dasar di Kota Pontianak yang nantinya akan dipilih 2 Sekolah untuk menjalankan KLK sesuai kriteria dari pusat.

Kriteria tersebut seperti, kedekatan lokasi sekolah dengan pasar dan lingkungan yang masyarakatnya tergolong ekonomi menengah kebawah. Misalnya banyak daerah pemulung atau kurang mampu. “Bagi kepala sekolah dan guru yang akan dijadikan pelaksana KLK wajib menempuh tes kemampuan terutama masalah psikologi anak. Program ini tidak sembarangan,” ujarnya.

Lebih lanjut dijelaskannya, SD yang akan menjalankan Program KLK harus memenuhi kriteria antara lain, pertama banyak anak-anak yang berusia sekolah yang belum bersekolah atau putus sekolah di sekitar lingkungan SD tersebut. Kedua berlokasi dekat tempat tinggal siswa yang memiliki kondisi khusus (golongan menengah kebawah) dan dekat dengan pasar.

Ketiga, sekolah tersebut bersedia menyelenggarkan KLK. Keempat, Sekolah harus memiliki tiga ruang belajar untuk pelaksanaan program siswa KLK. Kelima, Memiliki jumlah guru minimal tiga orang untuk tenaga pendidik dalam program tersebut. Keenam sekolah memiliki calon peserta KLK minimal 20 orang.

Dia menambahkan pelaksanaan program KLK ini diluar jam reguler atau dengan kata lain pada sore hari dimulai dari jam 13.00 wib sampai jam 16.30. Anak-anak ini akan dibina selama 2 bulan sampai 1 tahun. “Dalam pembelajarannya kita akan selalu memberikan motivasi dan pemahaman betapa pentingnya pendidikan. Program ini bukan sekedar proyek semata. Tetapi untuk melayani masyarakat yang kurang beruntung,” katanya.

Setelah para murid KLK menyadari dan memahami pentingnya pendidikan untuk masa depan maka akan ada tindak lanjut. Tindak lanjut berupa penyaluran siswa ke program reguler. Ini didasarkan pada penilaian tenaga pendidik terhadap kemampuan anak-anak tersebut. Jika anak tersebut pada saat sekolah drop out kelas empat maka akan dimasukkan ke kelas empat.

Dia juga mengatakan program pusat ini tidak permanen, artinya ketika 20 anak tesebut sudah berhasil dibina dan mereka sudah sekolah seperti biasa, maka dinas pendidikan akan memilih kembali sekolah yang akan menjalankan KLK dimana banyak anak-anak putus sekolah atau anak usia sekolah belum bisa bersekolah. (har)

< Program kelas layanan khusus (KLK) untuk anak putus sekolah merupakan program depdiknas pusat. Program kelas layanan khusus SD ini adalah alternatif model pendidikan untuk menjaring anak usia SD yang belum bersekolah atau putus sekolah.

Di Kota Pontianak hanya 2 sekolah yang ada KLK. Yakni SDN 8 Pontianak Selatan dan SDN 9 Pontianak Utara. Ini terungkap ketika Pontianak Post, menemui kepala bidang pendidikan dasar Dinas Pendidikan Kota Pontianak, Drs. Abdul Wahab di ruang kerjanya, Senin (18/2) kemarin.

Dia mengatakan program ini didanai APBN pusat. Program ini dicanangkan, karena sebuah penelitian pada tahun 2002. Dimana dalam rangka mewujudkan wajib belajar 9 tahun, banyak siswa SD drop out. Sebab itu, tahun ajaran 2003/2004 sampai sekarang KLK sudah diterapkan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan Makasar.

Di Kalbar khususnya Kota Pontianak baru dilaksanakan tahun ajaran 2007/2008. Dia menjelaskan, tidak semua sekolah melaksanakan KLK di Kota Pontianak. Itu katanya ada kriteria khusus bagi sekolah yang akan melaksanakan program tersebut. Tahap awal, dinas pendidikan kota menjaring seluruh sekolah dasar di Kota Pontianak yang nantinya akan dipilih 2 Sekolah untuk menjalankan KLK sesuai kriteria dari pusat.

Kriteria tersebut seperti, kedekatan lokasi sekolah dengan pasar dan lingkungan yang masyarakatnya tergolong ekonomi menengah kebawah. Misalnya banyak daerah pemulung atau kurang mampu. “Bagi kepala sekolah dan guru yang akan dijadikan pelaksana KLK wajib menempuh tes kemampuan terutama masalah psikologi anak. Program ini tidak sembarangan,” ujarnya.

Lebih lanjut dijelaskannya, SD yang akan menjalankan Program KLK harus memenuhi kriteria antara lain, pertama banyak anak-anak yang berusia sekolah yang belum bersekolah atau putus sekolah di sekitar lingkungan SD tersebut. Kedua berlokasi dekat tempat tinggal siswa yang memiliki kondisi khusus (golongan menengah kebawah) dan dekat dengan pasar.

Ketiga, sekolah tersebut bersedia menyelenggarkan KLK. Keempat, Sekolah harus memiliki tiga ruang belajar untuk pelaksanaan program siswa KLK. Kelima, Memiliki jumlah guru minimal tiga orang untuk tenaga pendidik dalam program tersebut. Keenam sekolah memiliki calon peserta KLK minimal 20 orang.

Dia menambahkan pelaksanaan program KLK ini diluar jam reguler atau dengan kata lain pada sore hari dimulai dari jam 13.00 wib sampai jam 16.30. Anak-anak ini akan dibina selama 2 bulan sampai 1 tahun. “Dalam pembelajarannya kita akan selalu memberikan motivasi dan pemahaman betapa pentingnya pendidikan. Program ini bukan sekedar proyek semata. Tetapi untuk melayani masyarakat yang kurang beruntung,” katanya.

Setelah para murid KLK menyadari dan memahami pentingnya pendidikan untuk masa depan maka akan ada tindak lanjut. Tindak lanjut berupa penyaluran siswa ke program reguler. Ini didasarkan pada penilaian tenaga pendidik terhadap kemampuan anak-anak tersebut. Jika anak tersebut pada saat sekolah drop out kelas empat maka akan dimasukkan ke kelas empat.

Dia juga mengatakan program pusat ini tidak permanen, artinya ketika 20 anak tesebut sudah berhasil dibina dan mereka sudah sekolah seperti biasa, maka dinas pendidikan akan memilih kembali sekolah yang akan menjalankan KLK dimana banyak anak-anak putus sekolah atau anak usia sekolah belum bisa bersekolah. (har)

sumber: http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?berita=Kota&id=152143

MOBILLE SCHOOL LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK MASYARAKAT YANG TERPINGGIRKAN DI KOTA BANDUNG.

MOBILLE SCHOOL LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK MASYARAKAT YANG TERPINGGIRKAN DI KOTA BANDUNG.

Deklarasi dakar tahun 2000 tentang pendidikan untuk semua (PUS) yang berisi 6 pokok, mengisyaratkan semua negara yang menandatangani meratifikasi UU pendidikan di negaranya masing-masing. Indonesia adalah salah satu negara tersebut, melalui UU sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 mencanangkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (Wajar Dikdas). Untuk itulah menuju PUS Indonesia memakai Wajar dikdas sebagai Implementasinya.

Kita mengetahui bahwasannya pendidikan merupakan hak setiap orang tanpa memandang status ekonomi, status sosial, dan lain sebagainya. Oleh karena itu pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah lokal harus berupaya menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Pemerintah lokal telah dapat menyelenggarakan bentuk layanan pendidikan secara formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan di tempat yang telah disediakan seperti sekolah.

Namun bagaimana dengan bentuk layanan pendidikan non formal?. Layanan pendidikan non formal dapat diartikan sebagai bentuk layanan pendidikan diluar jalur formal misalkan proses pendidikan di tempat kursus, bimbingan belajar, kejar (kegiatan belajar) paket A B C, dan tempat belajar lain diluar sekolah. Model-model layanan pendidikan non formal ini biasanya diselenggarakan pada sebuah tempat yang sifatnya menetap. Namun kelemahan model ini adalah masih adanya beberapa kalangan masyarakat yang belum tersentuh layanan pendidikan. Oleh karenanya dibutuhkan cara-cara kreatif dari pihak yang berwenang untuk mengatasi masalah ini. Pemerintah Kota Bandung telah menemukan cara-cara kreatif untuk menanggulangi masalah seperti tersebut diatas dengan menggunakan pola sekolah bergerak untuk kebutuhan layanan pendidikan bagi masyarakat yang terpinggirkan. Konsep yang ditawarkan adalah dengan konsep mobille school. Dengan konsep ini diharapkan agar seluruh warga kota Bandung yang belum tersentuh pendidikan dapat menggunakan fasilitas tersebut tanpa mengelurkan biaya sedikitpun, karena mobille school yang pada operasionalnya dengan menggunakan kendaraan bergerak menjangkau mereka. Konsep mobile school merupakan program yang dirancang untuk menjaring siswa putus sekolah atau drop out (DO), khususnya anak jalanan agar termotivasi kembali ke bangku pendidikan.

Pemerintah akan menjamin mereka yang termotivasi untuk disalurkan ke sekolah-sekolah terdekat dengan cara menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah agar calon siswa yang tertarik bisa langsung disalurkan sesuai dengan kebutuhannya, baik melalui jalur pendidikan formal maupun informal. Pengawasan program dilakukan pihak terkait setiap saat agar pelayanan pendidikan dengan konsep ini dapat mengena dan tepat sasaran. Masyarakat dapat turut berpartisipasi, agar proses layanan pendidikan dengan mobile school dapat berjalan dengan lancar. Karena pendidikan adalah investasi dan kunci untuk memajukan bangsa dari ketertinggalan.

sumber :http://duniapendidikan.wordpress.com/2007/12/09/mobille-school-layanan-pendidikan-untuk-masyarakat-yang-terpinggirkan-di-kota-bandung/

Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana

Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana

Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.

Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan kemudahan administratif.

Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.

Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).

Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.

Guru bantu

Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.

"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.

Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.

Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.

"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.

Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.

Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.

Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.

Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.

Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.

Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana. (NAR/INE).

sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0501/14/humaniora/1499439.htm

DUNIA KAMPUS SENTRA LAYANAN PENDIDIKAN KHUSUS Tangani Anak di Daerah Sulit

DUNIA KAMPUS
SENTRA LAYANAN PENDIDIKAN KHUSUS
Tangani Anak di Daerah Sulit

Rabu, 19 Juli 2006
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB) mengubah paradigma layanan pendidikannya tidak saja mengurusi anak cacat yang selama ini disebut sebagai siswa luar biasa, tetapi juga siswa yang memiliki prestasi luar biasa seperti siswa pemenang lomba otak tingkat internasional siswa berbakat lainnya dalam bidang non-eksakta.
"Selama ini, PLB dikonotasikan sebagai direktorat yang menangani anak cacat. Padahal, mereka yang luar biasa itu termasuk anak-anak cerdas yang tergabung dalam kelas akselerasi. Mereka semua akan ditangani oleh layanan pendidikan yang disebut Sentra Layanan Pendidikan Khusus," kata Direktur PLB, Eko Djatmiko dalam penjelasannya kepada wartawan, di Jakarta, belum lama ini.
Perubahan paradigma ini sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tidak menyebutkan satu pun mengenai sekolah luar biasa. Dalam UU Sisdiknas itu hanya ada pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.
Menurut dia, pendidikan khusus - pendidikan bagi siswa yang yang tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau punya potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Saat ini sedikitnya ada sekitar 66.000 siswa SD-SLTA di Indonesia yang belum terlayani oleh PLB. Dari jumlah tersebut, 54.000 di antaranya siswa dari kelompok wajib belajar - SD-SLTP. Untuk mengatasi hal ini pemerintah terus meningkatkan pelayanan, termasuk pendidikan inklusif.
Eko Djatmiko menyebut anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus, selain anak cacat yang selama ini telah ditangani PLB adalah mereka memiliki kecerdasan diatas rata-rata (IQ diatas 125), memiliki potensi bakat istimewa antara lain bidang musik, tari, bahasa, interpersonal hingga spiritual. Selain itu, mereka yang mengalami kesulitan belajar seperti dyslexia (baca), dysphasia (bicara), anak hiperaktif dan anak autis.
Menurut Eko, Sentra Layanan Pendidikan Khusus itu akan diujicobakan di 12 daerah di Indonesia. Ke-12 sentra pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tersebut berlokasi di Medan, Batam, Lampung, Jakarta, Sumedang, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Mataram, Banjarmasin dan Makassar.
Jumlah ini terdapat pada peserta didik Sekolah Luar Biasa sebanyak 81.434 siswa yang terdiri dari 3.218 siswa tunanetra, 19.199 siswa tunarungu, 27.998 siswa tunagrahita ringan, 10.547 siswa tunagrahita. Sedang 1.920 siswa tunadaksa ringan, 553 siswa tunadaksa, 788 siswa tunalaras, 450 siswa tunaganda, 1.752 siswa Autis dan berkebutuhan khusus 10.338 siswa serta program percepatan belajar 4.671 siswa.
Pelaksanaan Pendidikan Layanan Khusus diperuntukan bagi Sekolah yang kesulitan geografisnya itu seperti di wilayah Bengkulu dan Sulsel dan Sekolah untuk kesulitan etnis minoritas seperti Badui dan Kubu. Kemudian, sekolah untuk daerah bencana alam, sekolah untuk kesulitan hambatan sosial seperti anak jalanan, pekerja anak, dan pengungsi, serta Sekolah untuk kesulitan hambatan ekonomi seperti anak miskin.
Dijelaskan, pendirian Sentra Layanan Pendidikan Khusus ini akan memanfaatkan sekolah luar biasa (SLB) pembina yang biasanya ada di masing-masing kabupaten/kota. Sekolah tersebut akan ditambah aneka fasilitas yang menampung semua anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus.
Ia mencontohkan, fasilitas komputer yang ada di Sentra bukan hanya digunakan untuk kegiatan tulis menulis bagi lewat komputer, tetapi harus bisa memberi nilai lebih bagi anak sehingga lulusannya bisa menjadi seorang web designer dan membuat program komputer.
Satu kendala yang akan dihadapi pada pendirian Sentra Layanan Pendidikan Khusus ini adalah penyiapan tenaga pendidiknya. "Karena ini sekolah khusus, gurunya juga tidak bisa lagi yang standar seperti yang ada saat ini. Karena itu, selama masa persiapan kami akan memberi keterampilan tambahan kepada guru-guru yang akan terlibat dan Sentra Pendidikan Khusus," ucap Eko Djatmiko.
Keberadaan Sentra Pendidikan Khusus disambut Ketua Tim Pengerak PKK dan juga istri Menteri Dalam Negeri, RR Susyati Ma'ruf. Ia meminta kepada para istri Gubernur, Walikota dan Bupati di Indonesia untuk lebih memperhatikan hak azasi anak-anak untuk mendapat layanan pendidikan secara baik.
Pasalnya, sekarang ini angka putus sekolah terancam semakin meningkat menyusul sejumlah peristiwa bencana yang terjadi. "Anak jalanan, anak-anak korban gempa dan anak-anak yang kehilangan masa depannya karena konflik berkepanjangan di negeri ini tidak boleh sampai kehilangan haknya untuk tetap belajar dan memperoleh layanan pendidikan. Mereka menurut Undang Undang Sisdiknas dan UUD menjadi tanggungjawab negara dan kita bersama. Mereka sebaiknya ditangani secara khusus. Karena itu mereka menjadi tanggung jawab pendidikan khusus dan layanan khusus," katanya.
Menurut Susyati, istri dari pimpinan pemerintah daerah seharusnya menjadi pilar pertama dalam menyelamatkan anak-anak dari putus sekolah dan kehilangan masa depannya. Karena sebagai generasi penerus bangsa, negera ini membutuhkan manusia-manusia Indonesia yang berkarakter dan unggul.

sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=149788

PENDIDIKAN Anak Berkebutuhan Khusus Belum Nikmati Pendidikan

Jakarta, Kompas - Kurang dari 5 persen anak-anak berkebutuhan khusus usia sekolah yang menikmati layanan pendidikan. Dari perkiraan 1,5 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia, baru 66.000 anak yang mendapat layanan pendidikan.

Eko Djatmiko Sukarso, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PLSB) Departemen Pendidikan Nasional, di Jakarta, Selasa (6/11), mengatakan, kapasitas anggaran Direktorat PLSB belum mampu memenuhi keperluan pembangunan pendidikan anak berkebutuhan khusus.

Selain itu, sikap masyarakat yang masih menganggap kecacatan itu sebagai "aib" juga menyebabkan banyak keluarga yang tidak mengizinkan anak-anak berkebutuhan khusus mengakses layanan pendidikan.

Dahlan Danu, anggota staf Direktorat PLSB, mengatakan, layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini ditingkatkan dari segi akses layanan itu sendiri sehingga mudah dijangkau dan juga sosialisasi agar anak-anak berkebutuhan khusus ini mendapatkan hak yang sama seperti anak-anak lainnya.

"Untuk daerah yang jumlah anak berkebutuhan khusus cukup banyak diusahakan untuk dibangun SLB atau sekolah luar biasa. Tetapi sekarang yang dimasyarakatkan juga adalah terbentuknya pendidikan inklusi. Cara ini diharapkan akan mempermudah akses layanan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus sehingga semakin banyak anak yang menikmati pendidikan," kata Dahlan.

Ny Tumpal, warga Jakarta, memiliki seorang anak perempuan, Debora (11), yang menyandang tunarungu. Jarak SLB B yang jauh dari rumah lama-lama menjadi kendala untuk anaknya terus melanjutkan sekolah.

Dalam beberapa tahun ini pendidikan inklusi di Indonesia—di mana anak-anak berkebutuhan khusus bersekolah bersama anak- anak lain di sekolah umum—mulai tumbuh di masyarakat. Saat ini tercatat 796 sekolah inklusi yang melayani anak-anak berkebutuhan khusus, seperti tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa.

"Perkembangan pendidikan inklusi, terutama dalam menerima anak berkebutuhan khusus, bisa dikatakan cukup bagus. Tinggal bagaimana jumlahnya terus ditingkatkan, ya tergantung dari sejauh mana imbauan pemerintah agar pendidikan inklusi itu direspona sekolah," kata Dahlan.

Untuk sekolah inklusi, pemerintah menyediakan bantuan dana seperti block grand. Bantuan itu untuk membangun fasilitas atau prasarana yang dibutuhkan untuk mempermudah anak-anak berkebutuhan khusus menikmati pendidikan di sekolah itu. Guru pendamping SLB dihadirkan di sekolah, terutama di tingkat pendidikan dasar sampai anak-anak berkebutuhan khusus bisa mandiri dalam pembelajaran. (ELN)

sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0711/07/humaniora/3976895.htm

Kerajinan Peraga Pendidikan Khusus Anak

Kerajinan Peraga Pendidikan Khusus Anak




Thursday, 04 September 2008
Masa kanak - kanak adalah masa yang paling menyenangkan. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan pendidikan yang baik. Akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mandiri dan sesuai harapan orangtua.

Berbagai media pendidikan kini banyak dibuat khusus untuk anak -.anak. Dan ini rumahnya menjadi ladang bisnis tersendiri bagi Ibu Ida, salah satu pengusaha mainan anak dan alat peraga TK ini.

Rupanya pendidikan anak dan alat peraganya menjadi sumber inspirasi bisnis. Kini usahanya makin berkembang, dan sedikitnya lebih dari 40 karyawan kini aktif menjadi salah satu aset perusahaan yang ia kelola.


Berbagai jenis mainan anak TK. Yang bernuansa edukatif ada disini. Seperti puzzle, binatang, dan tumbuhan. Balok - balok mainan, replika, mobil, ayunan, buku pelajaran hingga, peralatan bermain musik dan olah raga. Bisa dibuat di pabrik yang luasnya sekitar lima ratus meter persegi ini.

Keunggulan produk, mainan ini, adalah semua desain dan bahan nya menggunakan produk local. Hampir semuai pengerjaan berbagai model mainan anak dilakukan dengan cara hand made.

Hasil dari tangan tangan terampil para pekerja sekitar. Mainan yang di buat cukup beragam, dan semuanya bernuansa edukatif.

Proses pembuatan berbagai model mainan dan alat peraga pendidikan ini, cukup sederhana. Dimulai dengan proses pemolaan yang sudah jadi di dalam kertas seketsa. Sesuai peruntukannnya. Semua bahan di potong dan dihaluskan diruangan khusus. Untuk mainan dari kayu.

Bahan kayu bisa digunakan kayu dari jenis albasia. kayu pinus maupun kayu olahan seperti kayu mdf. Bahan - bahan itu dipotong dengan gergaji mesin sederhana.

Kemudian dirangkai dan dihaluskan satu persatu. Setelah barang sudah menjadi rangka setengah jadi. Maka tibalah ke proses finising atau, pewarnaan.

Di tempat ini. Barang - barang yang sudah setengah jadi tersebut, diperhalus dan diberi warna. Pemakaian warna - warna mencolok yang berani. Sangat disukai anak – anak. Sehingga berbagai jenis puzzle atau balok mainan ini terlihat berwarna cerah dan menarik perhatian.

Tiap minggunya, tak kurang dari lebih dari seratus pesanan barang, kerap dipenuhi, CV Hanimo ini untuk memenuhi beragam keperluan alat peraga sekola TK senusantara. Berbekal ketekunan dan kesabaran menjalani usaha. Kini usaha Ibu Ida. Telah bisa menghidupi sedikitnya lima puluh orang karyawan berikut keluarganya.

sumber ;http://www.indofamilybisnis.com/index.php?option=com_content&task=vi

Fasilitas Pendidikan Anak Cacat,Minim

Thursday, 04-Dec-2008

Wednesday, 03 December 2008

JAKARTA (SINDO) – Sekolah inklusi yang digencarkan Pemprov DKI Jakarta kurang mengakomodasi hak pendidikan anak cacat. Pasalnya, jumlah sekolah masih minim dan terbatasnya sarana dan prasarana.


Tim Assessment Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Dahlena mengatakan, Pemprov DKI memang telah membuka sekolah inklusi (SI),sekolah umum yang menerima anak pembawaan khusus (cacat) untuk bersekolah.Program tersebut pun dibuka sejak 2003 dan diperkuat dengan Surat Edaran No 380/C6/MN tentang penyelenggaraan pendidikan inklusi. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan ORI, di Jakarta hanya ada lima SMA inklusi,yaitu SMA 5,SMA 40, SMA112, SMA 66, SMA 54.


Kelima sekolah tersebut pun hanya diisi enam siswa.”SMA 40 dan 112 tidak ada siswa inklusi. SMA 54 satu siswa cacat tunadaksa, SMA 5 terdapat dua siswa, yaitu tunawicara dan autis. Sementara di SMA 66 terdapat dua anak tunarungu dan satu anak tunanetra,” kata Dahlena kemarin. Minimnya jumlah siswa tersebut,menurutnya,karena kurangnya sosialisasi SI.Tidak hanya itu, sistem penerimaan siswa baru dengan real online systemjuga berdampak buruk kepada anak dengan kebutuhan khusus tersebut.


Dahlena mengatakan, sistem tersebut dituding tidak proporsional karena kuota bagi anak cacat hanya 5% dan standar nilai kelulusan kurang memihak kepada anak cacat. Dari hasil penelitian,fasilitas bagi siswa penyandang cacat juga minim. Dari lima sekolah, hanya satu yang mendapat bantuan yaitu satu unit komputer di SMA 66, selebihnya tidak ada. Sarana lain seperti tangga, kursi, dan ruang kelas juga masih terbatas. Parahnya lagi, lanjut Dahlena, guru pembimbing khusus pun kurang.


”Sekolah juga mengeluhkan petunjuk dan teknis pelaksanaan sekolah inklusif ini. Akibatnya tidak ada buku pedoman penyelenggaraan,” terangnya. Kepala Seksi Kurikulum SMA Dinas Pendidikan Menengah Tinggi DKI Jakarta Budiana menampik bahwa hanya ada lima SI di Jakarta. Berdasarkan datanya, ada 22 SI di Jakarta, di antaranya SMA 16, SMA 55, SMA Don Bosco, SMA Ora Et Labora, SMA Jubilee,dan SMA Notre Dame.


Tidak hanya itu,pihaknya juga telah merintis membuka sekolah yang menerima anak dengan tingkat IQ di atas 140 di SMA 3 dan IQ 70–90 di SMA Budi Waluyo. (neneng zubaidah)


sumber: http://www.ombudsman.go.id/index.php/berita/items/fasilitas-pendidikan-anak-cacatminim.html

Masyarakat Diajak Untuk Berpartisipasi dalam Pendidikan Keagamaan

Setelah keluarnya Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 14 taun 2005, dan Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007, masyarakat diajak untuk berpartisipasi dalam pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
Dorongan sekaligus ajakan ini datang dari Kanwil Depag Sulut melalui Kakanwil Depag, yang didampingi Kabid Urusan Ibadah dan Pendidikan Agama Kristen (PAK) Drs Jifry Kawung dan Hubmas Pdt John Tiaar STh, Kamis (14/02).
Menurut Kawung, dasar hukum pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan tersebut berdasarkan PMA nomor 14 tahun 2005 tentang [edoman pelnyelenggaraan Sekolah menengah Teologi Kristen (SMTK) serta ujian negara, dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
Untuk pengembangannya menurut dia, ada petunjuk tekni dan kurikulum yang dikeluarkan Dirje Bimas Kristen Depag RI untuk Sekolah Dasar Teologi Kristen (SDTK), Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen (SMPTK), dan Sekolah Menengah Agama Kristen (SMTK).
“Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yagn mempersiapkan peserta didik mejadi anggota masyarakat yang emmahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agaman dan menjadi ahli ilmu agama,” tambahnya.
Pendidikan keagamaan jelas dia, merupakan salah satu pilar utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam pasal 3 UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Sementara itu tentang tujuan pendidikan keagamaan tambahnya, pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang memperisiapkan peseta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
“Berdasarkan hal inilah kami mengharapkan pada seluruh yayasan, sinode gereja-gereja, atau pimpinan gereja, sekiranya dapat menyelenggarakan Sekolah Menengah Teologi Kristen, bahkan dari tingkat SD,” tambahnya. (lex)


sumber : http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2008/feb_15/lkMim001.html

PENDIDIKAN KEAGAMAAN: Anggaran Depag Masih Jauh dari Ideal

PENDIDIKAN KEAGAMAAN: Anggaran Depag Masih Jauh dari Ideal

SUKADANA (Ant/Lampost): Bupati Lampung Timur H. Satono pada Hari Amal Bakti (HAB) ke-63 Departemen Agama (Depag) di Sukadana, Lampung Timur, Rabu (7-1), mengatakan anggaran pendidikan di departemen tersebut jauh dari ideal.

"Kendati pemerintah terus menerus meningkatkan anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan, tetapi dinilai masih kurang," kata dia.

Ia menyebutkan berdasarkan data dari Departemen Agama, dari tahun ke tahun pemerintah telah berupaya untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan di Depag.

Sebagai gambarannya, anggaran pendidikan Depag di luar pendidik dan tenaga pendidikan tahun 2005 sebesar Rp3,284 triliun, dan pada 2009 direncanakan jumlahnya mencapai Rp14,888 triliun.

Menurut dia, peningkatan jumlah anggaran tersebut masih jauh dari jumlah ideal yang diharapkan.

"Dengan anggaran yang terbatas itu, kita harus mampu menyusun prioritas program dan kegiatan yang secara signifikan memberi sumbangan bagi peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan," ujarnya.

Satono mengharapkan anggaran pendidikan itu harus dimanfaatkan sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) pemerintah dan rencana strategis Depag.

Di tengah-tengah keterbatasan anggaran yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama dan keagamaan, ia menegaskan bahwa kita tidak boleh patah arang atau putus semangat dan bersikap apatis, tetapi kita harus tetap yakin dan bekerja keras untuk mendayagunakan segala potensi yang ada.

"Anggaran yang terbatas justru harus menjadi tantangan agar kita lebih cerdas dan inovatif menentukan pilihan program dan kegiatan yang tepat sasaran," kata Satono pula.

Terkait peringatan HAB tersebut, Kantor Depag Lamtim sebelumnya telah menyelenggarakan berbagai macam perlombaan yang bertujuan untuk memupuk silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan.

Adapun lomba yang diselenggarakan adalah tenis meja, bola voli, catur, tarik tambang, dan bulu tangkis yang diikuti para pegawai dinas terkait.

Pada kesempatan itu, panitia juga mengadakan lomba nasi tumpeng dan makanan nonberas seperti nasi oyek, tiwul, dan nasi jagung yang diikuti oleh para guru MAN, MIN, dan MTs.

Hadir pada acara tersebut para guru agama se-Lamtim, juga tampak hadir pada saat itu petugas pencatat nikah (PPN), Dharma Wanita, dan para pejabat Kandepag Lamtim.

sumber :http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009010723212631

Idul Fitri Media Pendidikan Keagamaan Kritis-Konstruktif

Idul Fitri Media Pendidikan Keagamaan Kritis-Konstruktif


DALAM kalender peribadatan umat Islam, puasa merupakan ibadah yang memakan waktu paling lama dibandingkan dengan ibadah yang lain. Selama menjalankan puasa, manusia Muslim memperoleh beberapa pengalaman rohaniah-religius yang langsung terkait dengan pengasahan kepekaan terhadap lingkungan sekitar dan pemupukan rasa solidaritas sosial-kemanusiaan paling dalam. Sedemikian dalamnya sehingga Allah SWT menjanjikan ampunan dosa bagi yang berpuasa dengan penuh perhitungan, introspeksi mendalam, dan kesungguhan (ghufira ma taqaddama min dhanbihi wa ma ta’akhkhara).

Akan tetapi, tidak mudah bagi seseorang apalagi kelompok untuk memetik saripati atau buah gemblengan puasa. Begitu sulitnya, sampai-sampai Rasulullah SAW perlu menyampaikan peringatan tegas kepada pengikutnya, tidak semua orang yang telah melakukan puasa serta-merta akan memetik buah ibadah puasa. "Banyak orang berpuasa tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, kecuali hanya lapar dan dahaga" (kam min saimin laisa lahu min saumihi illa al-ju’ wa al-’atas).

Dalam setiap ritual keagamaan, selain ada unsur "optimisme", juga ada unsur "pesimisme". Kenyataan hidup sehari-hari, kedua unsur itu ada dalam diri seseorang. Ada perasaan besar harap (al-raja), tetapi juga ada perasaan khawatir atau ragu (al-khauf). Untuk itu, pada ayat yang mewajibkan orang mukmin berpuasa diakhiri dengan "harapan" (la’ala: la’alakum tattaqun); semoga dengan ibadah puasa dapat mencapai derajat takwa yang sesungguhnya. Mengapa? Karena masih banyak cobaan, rintangan, dan godaan yang harus dihadapi dalam kehidupan sehari-hari di luar bulan puasa, yang dapat menjauhkan dari nilai-nilai puasa yang seharusnya dipetik.

Panduan etika kehidupan

Abad baru, abad ke-21, membawa tantangan baru negatif maupun positif bagi manusia. Jika hal-hal negatif tidak segera diwaspadai dan diantisipasi, maka hal itu akan membuat lingkungan hidup di muka planet Bumi kian tidak nyaman dihuni.

Tanda-tanda ke arah itu cukup jelas. Kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam di mana-mana. Tindak kekerasan kian bertambah kualitas maupun kuantitasnya. Bom bunuh diri dianggap wajar. Merajalela dan tidak dapat dicegahnya tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); kemiskinan tampak begitu jelas; rapuhnya kelembagaan keluarga; penyalahgunaan obat terlarang, ketidaksalingpercayaan (mutual distrust) antarwarga, buruk sangka antarkelompok sosial, antarkelompok intern umat beragama, antar-ekstern umat beragama; melemahnya solidaritas kemanusiaan; dan banyak lagi penyakit sosial lainnya.

Menghadapi situasi itu, muncul pertanyaan dari generasi muda dan oleh siapa saja yang ingin menjalani lebih lanjut makna ibadah Ramadhan, sekaligus berharap dapat memperoleh nilai tambah dan manfaat praktis dari ibadah yang dilakukan untuk dijadikan panduan etik dalam hidup sehari-hari.

Dalam studi agama Islam selalu dibedakan-meski tidak bisa dipisahkan-antara wilayah "doktrin" (yang bercorak tekstual teologis) dan wilayah "praktis" (yang bersifat fungsional praktis). Dari segi doktrin, tidak kurang dalam tekstual atau dalil yang dapat dijadikan landasan teologis untuk mewajibkan ibadah puasa. Namun, dari segi manfaat dan nilai guna yang bersifat fungsional praktis, khususnya yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari untuk kehidupan sebelas bulan di luar Ramadhan, orang masih perlu menjelaskan dan mengupasnya lebih lanjut.

Setidaknya ada tiga nilai pokok yang dapat dipetik dari ibadah Ramadhan yang dapat dijadikan pedoman etik kehidupan selama 11 bulan yang akan datang.

Sikap kritis dan peduli lingkungan

Agama Islam mempunyai cara pandang dan weltanschauung yang unik. Tidak selamanya kebutuhan makan minum harus dipenuhi lewat tradisi yang biasa berjalan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Rutinitas makan dan minum yang mengandung kalori berlebihan sekali waktu perlu dicegah dan dihindari. Islam mengajarkan, orang tidak harus selalu "terjebak", "terbelenggu", "diperbudak" oleh rutinitas makan dan minum yang terjadwal. Lebih jauh lagi, jangan "terbelenggu" dan "terjebak" rutinitas hukum pasar dan rutinitas hukum ekonomi. Sekali waktu harus dapat mengambil jarak, menahan diri, bersikap kritis, dan keluar dari kebiasaan rutin budaya konsumerisme-hedonisme yang selalu ditawarkan oleh pasar.

Sebenarnya orang yang menjalani puasa dilatih bersikap "kritis" ketika melihat semua fenomena kehidupan yang sedang berjalan dan terjadi di masyarakat luas. Maksud latihan itu agar timbul kekuatan dan keberanian moral untuk melakukan koreksi dan tindakan perbaikan terhadap keadaan lingkungan sekitar. Tindakan koreksi dan perbaikan adalah simbol rasa memiliki sekaligus peduli seseorang terhadap lingkungan sekitar. Pada gilirannya, sikap kritis itu dapat disemaikan kepada orang lain, teman seprofesi, seagama, sejawat penyelenggara negara, dan lebih jauh membuahkan gerakan masyarakat peduli (care society) lingkungan alam dan sosial yang genuin.

Bangsa Indonesia kini sedang terjangkit penyakit careless society, masyarakat yang tidak peduli kepada nasib kiri-kanan. Akibatnya, mereka dirundung berbagai penyakit moral. Generasi muda mudah tergiur narkoba, generasi tua dihinggapi penyakit KKN kronis yang meluluhlantakkan sendi-sendi peradaban masyarakat.

Kedua fenomena moral-sosial itu hanya menunjukkan ketahanan mental dan kekuatan moral bangsa Indonesia sudah mencapai titik terendah. Dalam pergaulan sehari-hari, manusia Muslim tidak lagi mempunyai daya tangkal dan nalar kritis terhadap lingkungan sosial sekitar. Pendidikan agama hanya dipahami secara formal-tekstual-lahiriah, terjebak dan terkurung ibadah mahdlah (murni) dan sifatnya terlalu teosentris, tetapi kurang dikaitkan dengan "jiwa", "makna", "nilai", dan "spirit" terdalam dari ajaran agama yang dapat menggerakkan jiwa seseorang dan kelompok untuk lebih peduli terhadap persoalan kemanusiaan sekitar (anthroposentris).

Dengan berakhirnya ibadah puasa, umat Islam bersama seluruh lapisan masyarakat diharapkan, bahkan dituntut, dapat mengkristalkan nilai dan mengambil sikap bersama untuk membasmi penyakit mental dan moral yang sedang melilit bangsa, yang mengakibatkan krisis multidimensi di Tanah Air.

Kesalehan pribadi dan sosial

Jika direnungkan kembali, falsafah peribadatan Islam, khususnya yang terkait dengan puasa, menegaskan perlunya "turun mesin" (overhauling) kejiwaan selama 29 hari dalam satu tahun. Pada saat turun mesin, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Semua peralatan dibongkar, dicek, dan diperiksa satu per satu, lalu diperbaiki dan alat-alat yang rusak diganti. Koreksi total ini dibutuhkan guna menjamin kelancaran dan keselamatan kendaraan untuk waktu-waktu berikutnya.

Dalam beribadah puasa harus selalu ada semangat untuk perbaikan. Pengendalian hawa nafsu, emosi, dan pengendalian diri tidak hanya terfokus pada kehidupan individu, tetapi perlu dikaitkan dan diangkat ke level kehidupan sosial. Dimensi sosial ibadah puasa meminta lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga sosial keagamaan, dan lembaga negara untuk selalu menghidupkan semangat social critics, social auditing, dan social control. Semuanya dimaksudkan untuk memperkuat dan memberdayakan kesalehan publik yang lebih nyata.

Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah selalu menekankan aspek kepedulian sosial. Makna tazkiyatu al-nafs (penyucian diri) kini tidak cocok lagi dipahami sebagai menarik diri dari pergumulan dan pergulatan sosial kemasyarakatan, menyepi. Makna tazkiyatu al nafs era kontemporer amat terkait dengan keberadaan orang lain, lingkungan hidup, lingkungan dan sosial sekitar. Zakat, sebagai contoh, selalu terkait dengan keberadaan orang lain. Sebenarnya penyucian diri pribadi atau ritus-ritus individual yang tidak punya dampak dan makna sosial sama sekali kurang begitu bermakna dalam struktur bangunan pengalaman keagamaan Islam yang otentik.

Dengan lain ungkapan, kesalehan pribadi amat terkait dengan kesalehan sosial. Krisis lingkungan hidup di Tanah Air adalah cermin krisis kepekaan dan kepedulian sosial. Ada korelasi positif antara krisis sosial, krisis ekonomi, dan krisis lingkungan hidup. Dampak krisis ekonomi terhadap kehidupan rakyat kecil cukup signifikan, khususnya yang terkait dengan pendidikan anak-anak. Gerakan orangtua asuh, rumah singgah, kesetiakawanan sosial, solidaritas sosial, perlu terus dipupuk, didorong, dan didukung oleh semua pihak.

Ada kecenderungan tidak begitu nyaman di Tanah Air di era reformasi, yaitu menjelmanya gerakan sosial keagamaan menjadi gerakan sosial politik. Perlu kesadaran baru dan upaya lebih serius yang dapat menggiring gerakan sosial keagamaan ke porosnya semula, yaitu gerakan sosial kemasyarakatan agama yang lebih peduli (care society) terhadap isu lingkungan hidup, sosial, pendidikan, ekonomi, dan budaya.

Sejauh manakah ibadah puasa berdampak positif dalam membentuk kesalehan pribadi dan memperkokoh kesalehan sosial? Sejauh mana nuansa pemikiran kritis terhadap lingkungan dapat ditumbuhkembangkan untuk mengurangi jurang yang terlalu jauh antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial? Jika dampaknya masih sedikit, mungkin benar sinyalemen Nabi bahwa banyak orang berpuasa, tetapi mereka tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga. Artinya, intisari dan hikmah puasa belum disadari, apalagi diimplementasikan.

Jiwa keagamaan yang inovatif

Kiranya dapat disimpulkan, nilai kegunaan praktis puasa adalah kemampuan membentuk pribadi, cara pandang, dan semangat keagamaan yang baru, inovatif, kreatif, dan dapat diperbarui terus-menerus. Tujuan utama disyariatkan puasa Ramadhan adalah perubahan kualitas hidup beragama ke arah paradigma berpikir keagamaan baru yang lebih menggugah-imperatif, inovatif, kreatif dan transformatif dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam kapasitas seseorang sebagai petani, pedagang, guru, kiai, dosen, artis, birokrat, pejabat negara, pemimpin masyarakat, pemimpin halaqah-halaqah, juru-juru dakwah pimpinan usrah-usrah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ulama, tokoh-tokoh LSM, pegawai kantor, mahasiswa, anggota TNI, polisi, maupun lainnya.

Puasa tidak semata-mata sebagai "doktrin" kosong yang harus dijalani begitu saja, tanpa mengenal makna terdalam serta implikasi dan konsekuensi praktisnya dalam kehidupan nyata sehari-hari. Ibadah puasa mempunyai fungsi moralitas praktis, akhlak karimah, budi luhur dan pendidikan keagamaan yang bermuatan nilai-nilai kritis-konstruktif dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tanpa menangkap makna itu, puasa hanya mendapat lapar.

Terbentuknya cara berpikir, mentalitas, cara pandang, way of life dan cara hidup keagamaan yang "baru", setelah turun mesin 29 hari adalah bagian tak terpisahkan dan termasuk tujuan utama disyariatkan ibadah puasa. "Laisa al-'’d liman labisa al-jadid, wa lakinna al’idu liman taqwa hu yazid" (hari Idul Fitri bukan lagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang- orang yang takwanya bertambah), yakni bagi mereka yang mempunyai kemauan dan semangat untuk terus memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga dan sosial kemasyarakatan, sosial politik dengan landasan keagamaan yang otentik.

Mudah-mudahan dengan mengenal tujuan syar'’y ibadah puasa, dalam merayakan Idul Fitri 1424 H ini umat Islam mampu memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup keagamaan ke arah terbentuknya masyarakat yang kritis dan peduli terhadap lingkungan sosial dan alam sekeliling; mampu berperan aktif mengoreksi perjalanan dan tanggung jawab sejarah di bumi Nusantara.

sumber :http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0311/22/utama/704000.htm

Pendidikan Informal Untuk Semua

Pendidikan Informal Untuk Semua

Pendidikan Informal Untuk Semua

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat anak-anak atau adik kita pulang sekolah, setelah jam sekolah usai, mereka kembali ke keluarga mereka di rumah, tetapi apakah anda pernah menyadari bahwa pendidikan terus berjalan, meskipun mereka telah pulang ke rumah?

Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan informal, dimana pendidikan tersebut berlangsung sejak anak tersebut dilahirkan dan mulai mengenal lingkungan sampai mereka beranjak dewasa. Pendidikan informal lebih menitikberatkan pada perkembangan afeksi, moral dan emosional. Secara biologis perkembangan afeksi dikendalikan oleh otak kanan yang banyak berperan pada kecerdasan spiritual, emosional, sosial, estetika dan kinestika, sehingga jika pendidikan informal benar-benar dilaksanakan dengan baik akan membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan dalam 3 ranah, yaitu afeksi, kognisi dan psikomotor. Dalam perkembangannya, banyak keluarga moderen yang lebih mementingkan perkembangan anak dari sisi kognisi, yang ditandai dengan diikutkannya anak mengikuti pelajaran tambahan (les) mata pelajaran tertentu yang dianggap bergengsi atau kursus-kursus ketrampilan lain.

Sejatinya, perkembangan ketiga ranah tersebut harus seimbang, sehingga tercapai keselarasan dalam hidup manusia, dan tidak ada lagi hacker, koruptor, atau teroris, karena mereka pada dasarnya adalah orang yang diberi kelebihan kognisi tetapi kurang (tidak punya) afeksi, sehingga cenderung merugikan dan membahayakan orang lain.

Seiring dengan kebijakan pemerintah yang mulai menyadari pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD) maka langkah awal yang dapat dilakukan untuk membentuk manusia seutuhnya dimulai dari keluarga, khususnya pada usia emas 0 - 6 tahun, dimana pada usia tersebut rangsangan atau stimulan bisa diberikan agar anak usia dini dapat berkembang lebih baik. Keluarga adalah dunia pendidikan informal yang utama dan seharusnya memberikan contoh baik yang sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat, agar kelak anak-anak mereka bisa berguna bagi bangsa dan negara.


sumber : http://tonysus.blog.friendster.com/2008/12/pendidikan-informal-untuk


Pemerintah Harus Lebih Perhatikan Pendidikan Informal

Pemerintah Harus Lebih Perhatikan Pendidikan Informal
Bogor-Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.

Bogor-Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.”Padahal sesungguhnya ada yang istimewa dalam program informal dan non formal ini, yaitu daya jangkaunya yang mampu menjangkau segala umur, tidak terikat status pernikahan, dan bisa menjangkau wilayah terpencil”, demikian Yusup Haryanto, SPd, koordinator PKBM Tunas Melati, Pemuda Muhammadiyah kabupaten Bogor kepada muhammadiyah.or.id, selasa (1/04/2008).

Menurut Yusup, setelah ada program BOS, sebenarnya masyarakat sudah banyak terbantu, khususnya untuk biaya SPP. Namun menurutnya, di lapangan ternyata biaya transport peserta didik ke sekolah masih banyak yang memberatkan orang tua siswa, terutama siswa dari daerah terpencil. “ Inilah kelemahan konsep Sekolah Terbuka” yang masih mengharuskan siswa berangkat dari rumah ke sekolah tertentu. Belum lagi masalah dengan status perkawinan, dimana sekolah formal tidak memungkinkan seorang siswa sudah menikah ikut bersekolah.

Dengan pertimbangan itulah, menurut Yusup, pogram PKMB Tunas Melati yang pada awalnya merupakan hasil MOU PP Pemuda Muhammadiyah dan Dirjen Pendidikan Informal dan Non Formal saat ini menjadi solusi yang cukup menarik bagi warga belajar di daerah kabupaten Bogor. Program yang difasilitasi dengan Kelas Berjalan, berupa Bis ini bisa menjangkau pelosok dan masyarakat miskin dengan mudah. “ Karena program ini geratis dan kami mendatangi mereka” cerita Yusup.

Saat ini, PKBM Tunas Melati mengelola tujuh kecamatan di Kabupaten Garut, yaitu kecamatan Nanggung, Pamijahan, Jasinga, Leuwiliang, Cibubulang, Sukajaya, Darmaga dan Tamansari. Kesemuanya dikelompokkan pada 28 Kelompok belajar yang masing-masing kelompok berkisar antara 80 hingga 100 warga belajar, dengan dipandu tujuh hingga delapan tutor. Pogram yang baru berjalan setahun ini, saat ini sudah meluluekan 700 warga belajar dari paket A, B, dan C selain program pemberantasan buta aksara melalui Keaksaraan Fungsional, program Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus Masuk Desa dan Beasiswa Belajar.

Keberlanjutan dan Pengembangan Program

Menurut Yusup, program yang sedang berjalan ini masih belum pasti apakah masih akan mendapat support dana dari Depdiknas untuk kelanjutan programnya, namun karena melihat manfaat program yang besar serta sambutan masyarakat yang besar, dengan ada tidaknya bantuan dari pemeintah segenap pengelola dan keluarga besar Muhammadiyah Kabupaten Bogor bertekad untuk meneruskan program ini.

Yusup mengakui, selama ini masalah yang dihadapi adalah kecilnya honor tutor yang saat ini berjumlah seratus orang. Karen a itu, selain berharap bahwa ke depan masih akan ada pihak-pihak yang mau bekerjasama membiayai program strategis ini, juga perlu diperhatikan bagaimana menaikkan kesejahteraan para tutor yang diambil dari keluarga besar Angkatan Muda Muhammadiyah Kabupaten Bogor sendiri.

Saat ini, PKBM Tunas Melati bertempat di kompleks amal usaha Muhammadiyah Kabupaten Bogor, Jl Raya Leuwiliang No. 106, Bogor. Telp. 0251 47619. Di kompleks tersebut berdiri TK ABA, MI Muhammadiyah, Mu’alimim Muhammadiyah (Mts dan MA), BMT, Poskestren, Panti Asuhan Yatim dan Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Bogor.



sumber :http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task

Homeschooling, haruskah eksklusif..???

Homeschooling, haruskah eksklusif..???

Sejak subsidi pendidikan nyaris ditiadakan, efek yang langsung terasa oleh masyarakat, adalah mahalnya biaya sekolah. Terbukanya peluang untuk tumbuhnya pendidikan alternatif seperti homeschooling (HS) adalah kabar baik.

Dengan pertimbangan finansial, HS diharapkan bisa mengabaikan unsur-unsur tertentu yang membuat biaya pendidikan menjadi mahal. Biaya gedung, seragam, atau atribut-atribut fisik lainnya dapat ditiadakan. Pemerataan pendidikan pun diharapkan akan berjalan lebih baik.

Sayanganya kini model pendidikan alternatif ini juga mengalami distorsi substansi. Munculnya lembaga-lembaga non sekolah yang membuka layanan belajar berbasis HS dengan biaya yang sangat-sangat mahal membuat HS terkesan ekslusif dan tak mungkin dilakukan oleh mereka yang ekonominya pas-pasan.

Tak Perlu Mahal

Perpindahan tempat belajar dan bervariasinya metode yang digunakan dalam bersekolah di rumah tidaklah berarti akan menambah biaya pendidikan jika seorang homeschooler bisa mengelola fasilitas yang ada di sekelilingnya dengan cermat.
Perpustakaan, museum, toku buku dan barang-barang bekas, perabotan rumah, sawah, kebun, tanaman di halaman, hewan peliharaan, dan lain sebagainya adalah contoh-contoh media belajar yang dapat dimanfaatkan tanpa harus merogoh uang terlalu besar.

Satu dari sekian prinsip yang diusung HS diantaranya adalah menghubungkan pengetahuan dengan dunia nyata, dan hal itu seringkali sangat murah. Anak-anak bisa belajar matematika saat mengeluarkan biscuit dari bungkusnya, bisa belajar bahasa inggris saat membaca petunjuk memasak mie instan, atau belajar biologi saat bermain di halaman; dengan mengamati serangga dan tumbuhan yang hidup bebas.

Informasi yang memang dianggap masih kurang oleh para peminat HS adalah aspek-aspek praktis berupa gambaran kurikulum, selain juga cara mengurus legalitas, supaya anak-anak yang melakukan HS tetap bisa memperoleh ijazah resmi sesuai jenjang pendidikan yang ditempuhnya.

Namun demikian, kalau kita mau sedikit menjelajahi internet, semua informasi itu bisa diperoleh cuma-cuma. Mengakses www.puskur.net akan membantu kita untuk mengetahui standar kurikulum nasional, sehingga kita memiliki gambaran dalam merancang kurikulum bagi anak-anak.

Beberapa panduan belajar dan kurikulum pendukung lainnya juga sebenarnya bisa kita dapatkan murah dan bahkan gratis di internet. Dari sana kita bisa mengambil pengalaman para homeschooler yang sudah lebih dulu menerapkan HS, dan kita kombinasikan dengan sedikit sentuhan kreativitas keluarga masing-masing.
HS akan menjadi sangat mahal jika para homeschooler serba membeli segala perangkat belajar yang semestinya tidak perlu dibeli.

Hindari Dokotomi

Dikotomi yang tajam antara HS dan sekolah formal sangat tidak bermanfaat untuk dikembangkan. Melihat pendidikan dalam skala makro, HS pun bisa menjadi bumerang jika hanya didefinisikan sebagai bersekolah di rumah dan tidak pergi ke sekolah. Salah-salah memberikan penjelasan, apa yang diingat dari HS justru hanyalah “tidak pergi ke sekolah”, dan anak-anak malah tidak mau belajar sama sekali di manapun.

HS mungkin masih tampak asing dan eksklusif bagi mereka yang belum mengenalnya terlalu jauh. Padahal kalau kita mau membaca beragam referensi tentang HS, kita akan melihat bahwa sesungguhnya model ini sangat akrab dengan kehidupan kita dan bermanfaat bagi semua orang, termasuk bagi mereka yang akhirnya memilih sekolah formal.

Substansi HS adalah membuat belajar menjadi demikian menyenangkan, mandiri, dan sesuai minat. Tak peduli di mana pun tempatnya, baik di rumah, di pasar, di perpustakaan, ataupun di jalanan, anak-anak bisa belajar sesuatu tanpa harus dibatasi kisi-kisi materi yang mengikat.

Selain itu, prinsip dasar HS yang cukup penting adalah terlibatnya orang tua secara penuh dalam pendidikan anaknya. Sekalipun anak-anak akhirnya masuk sekolah formal, peran orang tua dalam mengelola pendidikan anaknya tidak boleh berhenti.

Meskipun HS murni (bersekolah di rumah) nampak ideal bagi sebagian orang, namun bagi orang tua lain, dengan latar belakang dan pekerjaan yang berbeda HS murni bisa jadi tidak memungkinkan. Pada kondisi inilah sekolah formal atau sekolah alternatif berupa kelas masih tetap dibutuhkan untuk mendidik anak-anak, setidaknya pada sisi koginitif. Sementara itu, menghidupkan etos belajar adalah pe er tersendiri bagi dunia sekolah.

Referensi

Beberapa buku yang membahas tema-tema seputar HS, pembelajaran mandiri, dan sekolah kreatif sudah terbit dalam bahasa Indonesia, seperti Tamasya Belajar (MLC:2005), Revolusi Belajar untuk Anak (Kaifa:2002), Sekolah Para Juara (Kaifa:2004), Belajar Tanpa Sekolah (Nuansa:2006), Totto-Chan (Gramedia:2006), Revolusi Cara Belajar (Kaifa:2001), Homeschooling Keluarga Kak Seto (Kaifa:2007), Ibuku Guruku: Belajar di Rumah dalam Balutan Kearifan dan Kehangatan (MLC:2005), Montessori untuk Sekolah Dasar (Pustaka Delapratasa:2002), Accelerated Learning (Nuansa:2002), dan lain-lain.

Membaca buku-buku tersebut, setidaknya akan membantu setiap orang untuk mengenal temuan-temuan terbaru tentang pembelajaran dan mampu melihat HS tak hanya sekedar bersekolah di rumah.
Lebih jauh menelaah HS, akan membuat kita memahami bahwa HS adalah bagian dari tanggung jawab pendidikan yang diemban orang tua. Sekalipun anak-anak kita bersekolah di sekolah formal, tidaklah hilang tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak-anak, sehingga mereka menyukai belajar dan menjadi tumbuh positif dengan belajar.

http://pustakanilna.com/homeschooling-haruskah-eksklusif

Selasa, 24 Februari 2009

Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak

Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak


Pontianak,- Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta. 

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin. 

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya. 

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak. 

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional. 

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak. 

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)< Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta. 

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin. 

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya. 

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak. 

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional. 

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak. 

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah.

sumber : http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Kota&id=148709


Pendidikan Usia Dini Kurang Perhatian

Pendidikan Usia Dini Kurang Perhatian

Jakarta - Proses pembangunan pendidikan di Indonesia selama ini kurang memberikan perhatian pada pendidikan anak usia dini (PAUD), terutama PAUD nonformal. Padahal, PAUD merupakan pendidikan yang sangat penting untuk meletakkan dasar-dasar kecerdasan secara komprehensif baik kecerdasan intelektual (otak kiri) maupun kecerdasan spiritual, emosional, sosial, estetika (otak kanan) juga kinestika (fisik). 
Mendiknas Bambang Sudibyo berjanji akan segera membakukan pendidikan PAUD ini menjadi program formal dalam sistem pendidikan. “Ini merupakan upaya menebus kesalahan masa lalu di mana selama puluhan tahun kita mengabaikan PAUD,” tutur Mendiknas usai membuka Semiloka Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, Jumat (28/11). 
Menurutnya, usia dini merupakan usia emas dalam perkembangan seorang anak, sebab 80 persen potensi kecerdasan komprehensif anak dapat dipicu agar berkembang secara pesat dan optimal pada masa tersebut. Sisanya 20 persen dapat dikembangkan setelah usia delapan tahun sampai dengan 20 tahun. 
Fakta ini diperkuat dengan berbagai penelitian longitudinal (tracer studies) yang dilakukan oleh para ahli tentang pentingnya peranan PAUD bagi masa depan seseorang. Anak yang mengikuti PAUD dengan baik akan menjadi orang dewasa yang tangguh kecerdasan, fisik dan mentalnya, sehingga bisa menjadi manusia yang kreatif dan produktif serta tinggi tingkat kinerjanya. Anak yang mengikuti PAUD juga lebih siap mengikuti pendidikan di SD, mencegah putus sekolah dan siap mengikuti pendidikan jenjang berikutnya. 
Meski PAUD menjadi level penting dalam proses pendidikan, Mendiknas tidak setuju adanya pembelajaran yang memaksa anak-anak usia dini terutama untuk pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Hal terpenting dalam PAUD adalah pemberian stimulus (rangsangan) pada anak. “Anak yang besar dan berkembang dalam lingkungan yang kaya stimulan, kecerdasan otaknya akan berkembang lebih sempurna,” lanjutnya. 
Karena itu, untuk mewujudkan sistem PAUD yang baik, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan sektor terkait lainnya, mulai 2009 mengembangkan sistem PAUD yang holistik dan integratif. Dalam sistem ini, semua jenis stimulan yang diperlukan untuk menumbuhkembangkan kecerdasan anak akan dipadukan dalam suatu sistem layanan yang utuh. 
Selain itu, untuk meningkatkan pemerataan akses dan perluasan kesempatan mengikuti PAUD, Depdiknas akan memberikan perhatian lebih besar kepada peserta didik PAUD dari keluarga kurang mampu. Caranya dengan memprioritaskan pendirian lembaga-lembaga PAUD di tingkat kecamatan, pedesaan dan daerah terpencil. Data Depdiknas, dari 28,6 juta anak usia dini, baru 50,9 persen yang sudah terlayani PAUD baik formal maupun nonformal. Targetnya pada akhir 2009, angka partisipasi kasar PAUD mencapai 53,9 persen. (stevani elisabeth


sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0811/29/kesra02.html

Pendidikan Usia Dini bagi Warga Miskin

Pendidikan Usia Dini bagi Warga Miskin

Pendidikan anak usia dini sudah selayaknya mendapatkan prioritas. Berbagai hasil studi menunjukkan, jika pada masa usia dini seorang anak mendapat stimulasi maksimal, maka potensi anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal. 

Pemerintah pun menaruh perhatian besar terhadap hal tersebut. Terbukti, dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diatur masalah pendidikan anak. UU ini menegaskan, setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya, serta kecerdasan. 

Namun, kenyataannya, tidak semua anak bisa mendapatkan pendidikan usia dini. Terutama bagi masyarakat miskin. Jangankan pendidikan usia dini, untuk menyekolahkan anak ke bangku sekolah dasar saja, banyak yang tidak mampu. Sadar akan masalah tersebut, BKM Sehati mencoba memberikan solusi dengan mendirikan playgroup gratis. 

Playgroup yang mengkhususkan pada pendidikan usia dini ini diperuntukan bagi anak warga miskin. Setidaknya, ada 365 warga miskin yang menjadi target sasaran. Sebanyak 20 anak warga miskin berusia 4 - 6 tahun, mengikuti playgroup tahap pertama yang diselenggarakan dari bulan Februari hingga Juni 2007. 

“Tahap awal ini, memang kita terlambat mengadakan playgroup, padahal akhir tahun ajaran jatuh pada bulan Juni. Karenanya, waktu pendidikan hanya beberapa bulan saja. Tahap kedua dan selanjutnya, proses pendidikan diselenggarakan selama satu tahun, sesuai dengan tahun ajaran pendidikan,” papar Koordinator BKM Sehati, sekaligus pengelola playgroup, Dolfie Pandara.

Dalam menyelenggarakan playgroup ini, BKM Sehati bekerjasama dengan SDN 86 Kelurahan Tumumpa Dua, Kota Manado. Pihak sekolah menyediakan salah satu ruang kelasnya secara cuma-cuma, untuk digunakan kegiatan playgroup.

Sebagai tenaga pengajar, BKM Sehati “menggandeng” Ibu Ribka Rahel Kobis, seorang pegawai negeri yang sehari-harinya mengajar di TK GMIM Torsina. “Setiap bulan kita memberi Ibu Ribka insentif sebesar Rp 400.000, yang diambil dari hasil dana bergulir,” jelas Dolfie. 

Waktu kegiatan playgroup dimulai pukul 15.00 hingga 17.00 WITA, sebab di pagi hari ruangan digunakan oleh murid SDN 86 untuk belajar. “Kepala Sekolah SDN 86, Ibu Patinama, hanya menyediakan ruang kelas. Sedangkan, bangku dan meja plastik untuk siswa kita yang menyediakan,” ujar Dolfie.

BKM Sehati juga menyediakan seluruh keperluan proses belajar mengajar. Misalnya, paket buku pelajaran, alat-alat tulis, lemari buku, beragam mainan anak dan ayunan. Bagi siswa playgroup diberikan peralatan tulis menulis secara gratis. Dana pengadaan sarana belajar ini, menurut Dolfie, diambil dari uang Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar Rp 12,1 juta.

Saat ini, BKM Sehati tengah mempersiapkan pelaksanaan playgroup angkatan kedua. Rencananya, proses pendidikan akan dilaksanakan bulan September 2007 dengan jumlah peserta didik sebanyak 20 anak. Berbeda dengan angkatan pertama, proses belajar playgroup dilaksanakan selama satu tahun. Usia anak juga diturunkan menjadi minimal 3 tahun. “Proses pendaftarannya melalui ketua RT/RW setempat. Nanti setelah datanya diserahkan ke BKM, kita akan cek lagi apakah mereka benar berasal dari warga miskin,” kata Dolfie.

Tak hanya mengadakan playgroup gratis, BKM Sehati juga menyedikan taman baca di lokasi playgroup. Taman baca dibuat dengan tujuan menumbuhkan minat baca masyarakat. Selain itu, taman baca bisa dimanfaatkan para orang tua yang sedang menunggu anaknya belajar di playgroup. 

Setidaknya lebih dari 30 judul buku dan majalah tersedia di taman bacaan. Namun, bahan bacaan tersebut hanya boleh dibaca di tempat dan tidak boleh dibawa pulang. Tujuannya, agar tidak hilang dan cepat rusak. “Kebanyakan buku dan majalah yang ada, berkaitan dengan kewanitaan. Karena, memang taman bacaan ini dikhususkan bagi ibu-ibu dari warga miskin yang menunggu anaknya belajar di playgroup,” kata Dolfie. 

Adapun BKM Sehati dibentuk sejak 19 Juni 2005, dan disahkan oleh notaris pada 7 Juli 2005. Saat ini anggota BKM Sehati berjumlah 13 orang, dengan komposisi dua perempuan dan 11 laki-laki. Total dana BLM yang telah diterima dalam tiga tahap adalah sebesar Rp 450 juta. 

Ke depannya, BKM Sehati berencana akan lebih mengembangkan pusat kegiatan belajar masyarakat melalui kegiatan kelompok bermain, kelas belajar, taman bacaan masyarakat, kursus komputer, melukis dan warnet. Semoga rencana tersebut segera terealisir. (Tim Sosialisasi KMP-2 P2KP/KMW V PNPM P2KP-2 Manado; Nina)


sumber ; http://www.p2kp.org/web/bestpracticedetil.asp?mid=22&catid=4&

Perlu Gerakan Pendidikan Usia Dini

Perlu Gerakan Pendidikan Usia Dini 

Jakarta, Kompas - Pendidikan anak usia dini tidak harus selalu mengeluarkan biaya tinggi atau melalui wadah tertentu, melainkan dapat dimulai di rumah oleh keluarga. Tempat bermain, kelompok belajar, dan taman penitipan anak baru sebatas sarana.

Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Fasli Djalal di sela jumpa pers Lomba Karya Jurnalistik berfokus Pendidikan Anak Usia Dini, Rabu (20/10).

Pendidikan usia dini dapat diberikan sejak anak dalam kandungan hingga berusia enam tahun. "Rangsangan itu dapat mulai diberikan sejak anak dalam kandungan, misalnya dengan bercakap-cakap," katanya.

Kontak anak dengan keluarga dan lingkungannya dapat menjadi stimuli utama, terlebih lagi anak menghabiskan waktu terbanyak dengan keluarga.

Dalam perkembangannya, rangsangan diberikan dengan melibatkan seluruh indra anak. Pada intinya, anak jangan dibiarkan sendiri, termenung- menung tanpa aktivitas. "Kalau konsep sederhana tersebut sudah diikuti, itu sudah mencakup pendidikan usia dini," ujarnya.

Usia dini merupakan usia emas untuk menyerap berbagai materi, termasuk membaca atau berhitung. Namun, orangtua dan tenaga pendidik harus memberikan materi yang dekat dengan kehidupan dan lingkungan anak.

Kegiatan itu dijalani anak dengan menyenangkan dan tanpa paksaan. Orangtua dan pendidik hanya menjadi fasilitator yang memberikan pilihan kepada anak, bukan memaksakan kehendak.

Pendidikan usia dini juga mencakup masalah pengasuhan, gizi, dan kesehatan anak. Hanya saja, pendidikan usia dini belum banyak diketahui masyarakat.

Anak yang mendapatkan pelayanan pendidikan usia dini juga masih terbatas. Dari 12 juta anak usia taman kanak-kanak, hanya sekitar 2,4 juta anak yang terlayani. Sementara rata-rata kelahiran anak sekitar 4 juta setiap tahun.

Fasli juga mengharapkan potensi masyarakat untuk membuat gerakan pendidikan usia dini. Salah satu kekuatan besar untuk digabungkan dengan program pendidikan usia dini adalah pos pelayanan terpadu (posyandu). Saat ini terdapat sekitar 245.758 posyandu di seluruh Indonesia


sumber : Perlu Gerakan Pendidikan Usia Dini Jakarta, Kompas - Pendidikan anak usia dini tidak harus selalu mengeluarkan biaya tinggi atau melalui wadah tertentu, melainkan dapat dimulai di rumah oleh keluarga. Tempat bermain, kelompok belajar, dan taman penitipan anak baru sebatas sarana. Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Fasli Djalal di sela jumpa pers Lomba Karya Jurnalistik berfokus Pendidikan Anak Usia Dini, Rabu (20/10). Pendidikan usia dini dapat diberikan sejak anak dalam kandungan hingga berusia enam tahun. "Rangsangan itu dapat mulai diberikan sejak anak dalam kandungan, misalnya dengan bercakap-cakap," katanya. Kontak anak dengan keluarga dan lingkungannya dapat menjadi stimuli utama, terlebih lagi anak menghabiskan waktu terbanyak dengan keluarga. Dalam perkembangannya, rangsangan diberikan dengan melibatkan seluruh indra anak. Pada intinya, anak jangan dibiarkan sendiri, termenung- menung tanpa aktivitas. "Kalau konsep sederhana tersebut sudah diikuti, itu sudah mencakup pendidikan usia dini," ujarnya. Usia dini merupakan usia emas untuk menyerap berbagai materi, termasuk membaca atau berhitung. Namun, orangtua dan tenaga pendidik harus memberikan materi yang dekat dengan kehidupan dan lingkungan anak. Kegiatan itu dijalani anak dengan menyenangkan dan tanpa paksaan. Orangtua dan pendidik hanya menjadi fasilitator yang memberikan pilihan kepada anak, bukan memaksakan kehendak. Pendidikan usia dini juga mencakup masalah pengasuhan, gizi, dan kesehatan anak. Hanya saja, pendidikan usia dini belum banyak diketahui masyarakat. Anak yang mendapatkan pelayanan pendidikan usia dini juga masih terbatas. Dari 12 juta anak usia taman kanak-kanak, hanya sekitar 2,4 juta anak yang terlayani. Sementara rata-rata kelahiran anak sekitar 4 juta setiap tahun. Fasli juga mengharapkan potensi masyarakat untuk membuat gerakan pendidikan usia dini. Salah satu kekuatan besar untuk digabungkan dengan program pendidikan usia dini adalah pos pelayanan terpadu (posyandu). Saat ini terdapat sekitar 245.758 posyandu di seluruh Indonesia

sumber : kompas.com

Pendidikan Usia Dini yang Baik Landasan Keberhasilan Pendidikan Masa Depan

PENDIDIKAN USIA DINI YANG BAIK LANDASAN KEBERHASILAN PENDIDIKAN MASA DEPAN 

Keberhasilan anak usia dini merupakan landasan bagi keberhasilan pendidikan pada jenjang berikutnya. Usia dini merupakan "usia emas" bagi seseorang, artinya bila seseorang pada masa itu mendapat pendidikan yang tepat, maka ia memperoleh kesiapan belajar yang baik yang merupakan salah satu kunci utama bagi keberhasilan belajarnya pada jenjang berikutnya. 

Kesadaran akan pentingnya PAUD cukup tinggi di negara maju, sedangkan di Indonesia baru berlangsung pada  10 tahun yang lalu, dan hingga pada saat ini belum banyak disadari masyarakat begitu juga praktisi pendidikan 

. Martin Luther (1483 - 1546) 

Menurut Martin Luther tujuan utama sekolah adalah mengajarkan agama, dan keluarga merupakan institusi penting dalam pendidikan anak. 

Pemikiran Martin Luther ini sejalan dengan tujuan madrasah (sekolah Islam) yaitu pendidikan agama Islam, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian integral dari agama Islam. Dengan demikian pendidikan di madrasah akan menghasilkan ulul-albaab (QS. 3 : 190 - 191), yaitu penguasaan iptek yang dapat digunakan dalam kehidupan dengan ahlak mulia, berdampak rahmatan lil alaminn, yang dijanjikan Allah akan ditingkatkan derajatnya (QS. 58 : 11). 

. Jean - Jacques Rousseau (1712 - 1718) 

Bukunya Du de 'education, menggambarkan cara pendidikan anak sejak lahir hingga remaja. 

Menurut Rousseau: "Tuhan menciptakan segalanya dengan baik; adanya campur tangan manusia menjadikannya jahat (God make every things good; man meddles with them and they become evil). 

Rousseau menyarankan "kembali ke alam" atau "back to nature", dan pendekatan yang bersifat alamiah dalam pendidikan anak yaitu : "naturalisme". Naturalisme berarti, pendidikan akan diperoleh dari alam, manusia atau benda, bersifat alamiah sehingga memacu berkembangnya mutu, seperti kebahagiaan, sportivitas dan rasa ingin tahu. Dalam prakteknya naturalisme menolak pakaian seragam (dress code), standarisasi keterampilan dasar yang minimum, dan sangat mendorong kebebasan anak dalam belajar. 

Anak dibekali potensi bawaan (QS. 16 : 78) yaitu potensi indrawi (psikomotorik), IQ, EQ dan SQ. Semua manusia perlu mensyukuri pembekalan dari Allah SWT, dengan mengaktualisasikannya menjadi kompetensi. 

. Johan Heindrich Pestalozzi (1746 - 1827) 

Dalam bukunya "Emile" ia sangat terkesan dengan "back to nature". Ia mengintegrasikan kehidupan rumah, pendidikan vokasional dan pendidikan baca tulis. Pestalozzi yakin segala bentuk pendidikan adalah melalui panca indra dan melalui pengalamannya potensi untuk dikembangkan. Belajar yang terbaik adalah mengenal beberapa konsep dengan panca indra. Ibu adalah seorang pahlawan dalam dunia pendidikan, yang dilakukannya sejak awal kehidupan anak. 

. Frederich Wilhelm Froebel (1782 - 1852) 

Froebel menciptakan "Kindergarten" atau taman kanak-kanak, oleh karena itu ia dijadikan sebagai "bapak PAUD". Pandangan Froebel terhadap pendidikan dikaitkan dengan hubungan individu, Tuhan dan alam. Ia menggunakan taman atau kebun milik anak di Blankenburg Jerman, sebagai milik anak. Bermain merupakan metode pendidikan anak dalam "meniru" kehidupan orang dewasa dengan wajar. Kurikulum PAUD dari Froebel meliputi : 

- Seni dan keahlian dalam konstruksi, melalui permainan lilin dan tanah liat, balok-balok kayu, menggunting kertas, menganyam, melipat kertas, meronce dengan benang, menggambar dan menyulam. 

- Menyanyi dan kegiatan permainan. 

- Bahasa dan Aritmatika. 

Menurut Froebel guru bertanggung jawab dalam membimbing, mengarahkan agar anak menjadi kreatif, dengan kurikulum terencana dan sistematis. 

Guru adalah manajer kelas yang bertanggung jawab dalam merencanakan, mengorganisasikan, memotivasi, membimbing, mengawasi dan mengevaluasi proses ataupun hasil belajar. Tanpa program yang sistematis penyelenggaraan PAUD bisa membahayakan anak. 

. John Dewey (1859 - 1952) 

John Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya "My Pedagogical Creed", bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Aplikasi ide Dewey, anak-anak banyak berpartisipasi dalam kegiatan fisik, baru peminatan. 

Bandingkan pendapat Dewey tsb dengan sabda Rasulullah SAW "didiklah anak-anakmu untuk jamannya yang bukan jamanmu" 

. Maria Montessori (1870 - 1952) 

Sebagai seorang dokter dan antropolog wanita Italy yang pertama, ia berminat terhadap pendidikan anak terbelakang, yang ternyata metodenya dapat digunakan pada anak normal. 

Tahun 1907 ia mendirikan sekolah "Dei Bambini" atau rumah anak di daerah kumuh di Roma. Metode Montessori adalah pengembangan kecakapan indrawi untuk menguasai iptek untuk diorganisasikan dalam pikirannya, dengan menggunakan peralatan yang didesain khusus. Belajar membaca dan menulis diajarkan bersamaan. Montessori berpendapat anak usia 2 - 6 tahun paling cepat untuk belajar membaca dan menulis. Kritik terhadap Montessori adalah karena kurang menekankan pada perkembangan bahasa dan sosial, kreatifitas, musik dan seni. 

Ijtihad dengan hasil yang benar bernilai dua, apabila hasilnya salah nilainya satu, sedangkan taklid atau mengikuti bernilai nol, jadi berfikir kreatif itu dikehendaki oleh Allah SWT. 

. McMiller Bersaudara 

Rachel dan Margaret mendirikan sekolah Nursery yang pertama di London pada tahun 1911. sekolah ini mementingkan kreatifitas dan bermain termasuk seni. 

. Jean Piaget (1896 - 1980) 

Ilmuwan Swiss ini tertarik pada ilmu pengetahuan proses belajar dan berfikir, meskipun ia sendiri ahli dalam biologi. Menurut Piaget ada tiga cara anak mengetahui sesuatu : 

Pertama, melalui interaksi sosial, Kedua, melalui interaksi dengan lingkungan dan pengetahuan fisik, Ketiga, Logica Mathematical, melalui konstruksi mental. 

. Benjamin Bloom 

Bloom (1964) mengamati kecerdasan anak dalam rentang waktu tertentu, yang menghasilkan taksanomi Bloom. Kecerdasan anak pada usia 15 tahun merupakan hasil PAUD. Pendapat ini dukung oleh Hunt yang menyatakan bahwa PAUD memberi dampak pada pengembangan kecerdasan anak selanjutnya. 

. David Werkart 

Metode pengajarannya menggunakan prinsip-prinsip :
- Memberikan lingkungan yang nyaman,
- Memberikan dukungan terhadap tingkah laku dan bahasa anak,
- Membantu anak dalam menentukan pilihan dan keputusan,
- Membantu anak dalam menyelesaikan masalahnya sendiri dengan melakukannya sendiri.
Werkart mendirikan lembaga High Scope Education (1989).


Layanan bagi Anak Usia Dini 

Anak usia dini meliputi usia 0 - 6 tahun. Pada usia 0 - 2 tahun pertumbuhan fisik jasmaniah dan pertumbuhan otak dilakukan melalui yandu (pelayanan terpadu) antara Depertemen Kesehatan, Depsosial, BKKBN dan Depdiknas. Dalam program PAUD, diharapkan Depdiknas menjadi "Leading Sector". 

Pada usia 2 - 4 tahun layanan dilakukan melalui penitipan anak (TPA) atau Play Group. Pada usia 4 - 6 tahun layanan dilakukan melalui Taman Kanak-kanak (TK - A dan TK - B). 

Perkembangan Kepribadian dan Kognitif Anak Usia Dini 

. Teori perkembangan Psikososial Erikson 

Ada empat tingkat perkembangan anak menurut Erikson, yaitu : 

Pertama, usia anak 0 - 1 tahun yaitu trust Vs mistrust. Pengasuhan dengan kasih sayang yang tulus dalam pemenuhan kebutuhan dasar bayi menimbulkan "trust" pada bayi terhadap lingkungannya. Apabila sebaliknya akan menimbulkan "mistrust" yaitu kecemasan dan kecurigaan terhadap lingkungan. 

Kedua, usia 2 - 3 tahun, yaitu autonomy Vs shame and doubt. Pengasuhan melalui dorongan untuk melakukan apa yang diinginkan anak, dan sesuai dengan waktu dan caranya sendiri dengan bimbingan orang tua/guru yang bijaksana, maka anak akan mengembangkan kesadaran autonomy. Sebaliknya apabila guru tidak sabar, banyak melarang anak, menimbulkan sikap ragu-ragu pada anak. Jangan membuat anak merasa malu. 

Ketiga, usia 4 - 5 tahun, yaitu Inisiative Vs Guilt, yaitu pengasuhan dengan memberi dorongan untuk bereksperimen dengan bebas dalam lingkungannya. Guru dan orang tua tidak menjawab langsung pertanyaan anak (ingat metode Chaining nya Gagne), maka mendorong anak untuk berinisiatif sebaliknya, bila anak selalu dihalangi, pertanyakan anak disepelekan, maka anak akan selalu merasa bersalah. 

Keempat, usia 6 - 11 tahun, yaitu Industry Vs Inferiority, bila anak dianggap sebagai "anak kecil" baik oleh orang tua, guru maupun lingkungannya, maka akan berkembang rasa rendah diri, dampaknya anak kurang suka melakukan tugas-tugas yang bersifat intelektual, dan kurang percaya diri. 

. Teori perkembangan Konitif Piaget 

Ada tiga tahapan perkembangan kognitif anak menurut piaget, yaitu : 

Pertama, tahap sensori motorik (usia 0 - 2 tahun) anak mendapatkan pengalaman dari tubuh dan indranya. 

Kedua, tahap praoperasional. Anak berusaha menguasai simbol-simbol, (kata-kata) dan mampu mengungkapkan pengalamannya, meskipun tidak logis (pra-logis). Pada saat ini anak bersifat ego centris, melihat sesuatu dari dirinya (perception centration), yaitu melihat sesuatu dari satu ciri, sedangkan ciri lainnya diabaikan. 

Ketiga, tahap operasional kongkrit. Pada tahap ini anak memahami dan berfikir yang bersifat kongkrit belum abstrak. 

Keempat, tahap operasional formal. Pada tahap ini anak mampu berfikir abstrak. 

Kurikulum PAUD 

Kurikulum TK dikembangkan berdasarkan integrated curriculum (kurikulum terintegrasi) dengan pendekatan tematik. Kurikulum diorganisasikan melalui suatu topik atau tema. Katz dan Chard (1989) yang dikutip oleh Soemiarti Patmonodewo (2003) menetapkan kriteria untuk memilih tema yaitu: ada keterkaitannya, kesempatan untuk menerapkan keterampilan, kemungkinan adanya sumber, minat guru. 

Bahan-bahan untuk mengembangkan tema antara lain :
a) Lingkungan anak seperti : rumah, keluarga, sekolah, permainan, diri sendiri. 
b) Lingkungan : kebun, alat transportasi, pasar, toko, museum.
c) Peristiwa : 17 Agustus, hari Ibu, upacara perkawinan. 
d) Tempat : Jalan raya, sungai, tempat bersejarah
e) Waktu : jam, kalender, dan sebagainya.

Program PAUD 

. Day Care atau TPA (Taman Penitipan Anak), yang berfungsi sebagai pelengkap pengasuhan orang tua. TPA dirancang khusus dengan program dan sarananya, untuk membantu pengasuhan anak selama ibunya bekerja. Pengasuhan dilakukan dalam bentuk peningkatan gizi, pengembangan intelektual, emosional dan sosial anak. TPA di Indonesia sudah berkembang dalam bentuk: TPA perkantoran, TPA perumahan, TPA industri, TPA perkebunan, TPA pasar. Sekarang banyak bermunculan TPA keluarga, yang diselenggarakan di rumah-rumah. 

. Pusat pengembangan anak yang terintegrasi yang memberikan pelayanan perbaikan gizi dan kesehatan dengan tujuan peningkatan kualitas hidup anak. Di Indonesia dikenal dengan nama Posyandu (pos pelayanan terpadu) yang memberikan pelayanan makanan bergizi, imunisasi, penimbangan berat badan anak, layanan kesehatan oleh dokter, pemeriksaan kesehatan keluarga berencana. Pelatih dan pelaksana semuanya relawan yang sebelumnya mendapat pelatihan. 

. Pendidikan Ibu dan Anak 

Yang menjadi tujuan adalah pendidikan ibu yang memiliki balita, dalam hal pendidikan dan pengasuhan anak. 

Pola pendidikan seperti ini berkembang menjadi HIPPY (Home Instruction Programme for Preschool Youngster) di Israel Pendidikan orang dewasa dengan pendekatan kelompok juga dilaksanakan oleh Indonesia, Cina, Jamaica, dan Kolumbia. 

Di Indonesia dikenal dengan program Bina Keluarga Balita, yang dikoordinasikan oleh Meneg Urusan Peranan Wanita dan BKKBN dengan bantuan UNICEF, yang dilaksanakan sejak 1980.


sumber :http://re-searchengines.com/agusruslan31-5-2.html